Tau nggak, kalo beberapa hari lalu Vio menemukan sebuah kotak, peti kayu berukuran dua puluh kali tiga puluh centimeter (Iya, sudah Vio ukur kotak itu, jadi percayalah) dan Vio menemukan kotak tersebut di salah satu ruang yang sudah tak terpakai di rumah Granpa. Diantara tumpukan benda-benda rongsokan. Karena Vio penasaran, maka Vio ambil peti kayu itu, dan tadinya sempat menduga bahwa benda tersebut adalah milik Granpa or Granma. Tapi setelah diperhatikan lagi, ada ukiran berbentuk inisial di bagian atas kotak. Huruf 'RH' yang terukir di sana. Jadi, dipastikan benda itu milik Mom. Darimana Vio tahu? Tentu saja, bukankah 'RH' adalah inisial nama milik Mom yang bernama Rosemary Harrison? Dan sekarang? Apa isi kotak itu? Mari kita lihat. Oh iya, sekarang Vio telah kembali ke London, setelah kemarin berlibur di Edinburgh dan menemukan kotak itu. Jadi, sebaiknya kita buka saja kotak itu.
Ngomong-ngomong, dimana Fablo? Ah, nanti saja mencarinya, yang jelas sekarang Vio membuka kotak ini dulu. Tapi bagaimana cara membukanya? Peti ini memiliki gembok namun kuncinya tidak ada. Aduh bagaimana ya? Ehm, dipaksa saja, atau minta tolong Jerry membukanya.
Nah, peti kayu sudah terbuka dan ternyata di dalamnya banyak sekali tumpukan kertas dan perkamen. Apa sih ini? Vio ngga ngerti. Seperti surat..eh..ada nama Dad di salah satu perkamen itu! Baik...mari kita baca apa isinya. Jangan-jangan surat cinta antara Mom and Dad...hihihihi...
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
29 oktober 1981
[FCD]
”Hei…kau! Kemari!”
”A—Ada apa, senior Dutie?”
“Kau pasti mengenal Rosemary Harrison, seniormu yang kelas tiga, kan?”
”Ya—Ya, aku kenal”
“Berikan ini ke dia, secepatnya! Awas kalau tidak sampai! Kubunuh kau!”
”Tapi ini kan sudah malam, senior Mary pasti sudah tidur di kamarnya...”
”Masuk ke kamarnya dan berikan ini!”
”Ha?!”
”Kenapa, he?”
”Tapi kan aku anak laki-laki, mana mungkin aku masuk ke dalam kamar anak perempuan?”
”Terserah kau bagaimana caranya, aku tak mau tahu. Pokoknya surat ini harus dibaca oleh Mary saat ia bangun tidur besok. CEPAT!”Ia mendorong anak kelas satu itu keras-keras menuju asrama Ravenclaw—sampai-sampai ia dapat melihat bocah tersebut tersandung salah satu anak tangga, walaupun tak jatuh. Tatapannya masih menusuk tajam, memaksa agar sang babu dengan cepat memberikan surat tersebut kepada Rosemary Harrison.
Dan disinilah ia berada sekarang, di tepi danau. Anak laki-laki itu menyandarkan tubuh tinggi besarnya di sebuah batang pohon, menanti. Tatapan matanya lurus ke depan, hampa. Semua pikirannya kini hanya terisi oleh bayang-bayang seseorang—seorang gadis yang berusia setahun lebih muda darinya. Dan bahkan dirinya juga belum sempat memikirkan segala tindakannya tadi malam—apakah akan berisiko besar atau bagaimana. Semua tindakannya dilakukan tanpa adanya pemikiran panjang, sebut saja begitu. Ya, kata hati. Dia menuruti kata hatinya. Dan ia yakin segala tindakan yang berdasarkan kata hati akan memiliki potensi positif nantinya, percayalah.
Sebuah hembusan nafas sesekali—akan mengurangi rasa gugupnya, ia kira. Jujur, Fabi belum pernah melakukan semua ini—mengundang seorang gadis untuk bertemu dirinya dan—meminta maaf. Walaupun terkesan absurd, tapi ia tak bisa mengelak—ia akan melakukan hal yang sama sekali bertentangan dengan prinsipnya: Meminta. Maaf. Hell yeah. Dan itu hanya ia lakukan untuk seseorang, hanya seseorang—catat itu—Rosemary Harrison. Katakan ia sudah gila karena dengan sengaja merubah prinsipnya hanya karena seorang gadis—dan tak lupa karena ia telah tak mengindahkan persepsinya terdahulu mengenai Fabi membenci Ravenclaw dan Hufflepuff... sekarang tidak, ia kira.
Hmph.Hawa musim dingin awal sudah mulai menusuk raga sang pemuda. Dingin—menggigil, dan ia berani bertaruh kalau suhu air danau di depannya akan lebih dingin dari suhu yang ia rasakan saat ini. Dan apakah keputusan dirinya untuk mengundang dia saat ini salah? Apa dia akan marah karena dia diundang di luar kastil yang dingin seperti ini? Kalau dia marah, apakah acara perminta maafan itu akan tertunda sampai pergantian musim? Ah, tidak. Walaupun tak disini, di dalam kastil juga bisa, kan? Well, sekarang lebih baik menunggu. Menunggu dan ia harap Rosie datang—semoga dia mengenali inisial nama yang dirinya cantumkan di perkamen itu. Semoga.
[RH]Mary memasukkan potongan steaknya pelan-pelan ke dalam mulut, dengan raut wajah tenang seperti biasa. Namun dibalik ketenangan wajahnya, sesungguhnya ia sedang berfikir, tentang sesuatu dan seseorang. Ia kembali mengeluarkan secarik perkamen yang diterimanya tadi pagi secara misterius. Yah, karena tanpa sengaja ia melihat ada sesuatu yang menyempil di bawah pintu. Beberapa saat setelah ia bangun dari tidur nyenyaknya. Lalu mengambil kertas tersebut dan membacanya. Tidak mengerti. Oke, karena dia belum berada dalam kesadaran penuh saat itu sehingga otaknya masih belum dapat untuk diajak berfikir. Tak ada petunjuk yang mengarah kepada sang pengirim. Inisialnya juga asing dalam ingatan Mary, sehingga ia memutuskan untuk mengulang kembali membacanya setelah dalam kondisi sadar sepenuhnya.
Ia sedang makan, dengan gizi cukup serta minuman jus labu yang tidak terlalu buruk bagi tubuhnya. Cukuplah untuk mendongkrak kinerja otaknya ini. Dan ia kembali membaca isi surat itu. Mencoba menelaah mengenai isi dan maksud dari si pengirim untuknya. Dia meminta Mary untuk menuju danau, hari ini. Mary mengecek kembali agendanya, ini hari minggu, kan? Ah, ya benar. Kemudian untuk waktunya? Gadis itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tinggal beberapa jam lagi. Jujur, Mary merasa gugup. Yah, gugup karena ia akan menemui seseorang di tempat seperti danau. Mengapa tidak di dalam kastil saja sih? Merepotkan.
Jantung Rosemary berdegup kencang, padahal ia sudah berusaha tenang dari tadi. Entahlah, apakah karena efek dari rasa penasarannya kepada seseorang yang memintanya ke tempat ini? Mungkin saja. Tapi, sempat timbul dalam pikiran Mary, apakah surat itu ditujukan untuk dirinya? Siapa tahu untuk teman satu asramanya. Wew, kalau begitu Mary geer dong? Aduh, mengapa tidak terpikir dari tadi. Tapi, ah...dia sudah keluar kastil sekarang ini. Baiklah, begini saja. Nanti Mary mendatangi danau dan lihat ada siapa disana. Kalau kira-kira ia kenal dengan seseorang itu dan merasa ada urusan dengannya berarti memang benar Mary yang dimaksud. Jika tidak, kembali saja ke kastil dan memperlihatkan surat itu kepada teman seasramanya yang lain. Mudah kan.
Ternyata di luar dingin...Dan Mary hanya mengenakan baju terusan tanpa memakai jaket atau sweater di tubuhnya. Tak mengira bahwa akan sedingin ini di luar kastil. Kedua tangannya bersedekap, berjalan cepat agar segera sampai ke tujuan. Udara semakin dingin, ini baru awal musim dingin, masih awal lho, sudah seperti ini. Gadis itu menghela nafas dan terus berjalan, otaknya kembali memikirkan inisial si pengirim surat. Mencoba menyebutkan nama teman-temannya yang berinisial huruf 'F' di depan nama mereka. Tak banyak, dan rata-rata yang berinisial huruf 'F' itu adalah seniornya. Seperti senior Freyja, hanya itu. Lalu siapa?
Tiba-tiba ia seperti disadarkan oleh sesuatu, membuatnya seperti baru saja dihantam benda keras di kepalanya.
Inisial itu!
Huruf 'F'...
Senior...Oh My! Mengapa, Mary tak menyadarinya dari tadi? Pasti dia, tentu saja dia. Tak salah lagi.
"Fabi--"
[FCD]
Dia pasti datang. Percayalah. Kalau benar-benar mereka memiliki perasaan yang sama—dia pasti datang, dia pasti mengenali inisial itu. Apa lagi, tak ada murid lain yang memiliki inisial F dan C dan D selain Mister Fabios Curain Dutie di Hogwarts ini. Ia menghela nafas—masih terduduk di bawah pohon dan menunggu. Menunggu itu membosankan—memang—seharusnya dirinya langsung saja menggeret anak perempuan itu dari asramanya, bukan? Toh, asrama mereka berdekatan. Ya ya ya, mustahil. Fabi tak pernah berani melakukan hal demikian, sebenarnya.
Anak laki-laki itu menolehkan kepalanya ke arah kanan dan kemudian kiri—benar-benar mengharap kedatangan gadis tingkat tiga itu. Oh, tujuannya hanya untuk minta maaf—tak lebih. Itupun ia sudah ia pikirkan selama sebulan sebelumnya—memutuskan untuk meminta maaf—padahal sebenarnya ia sangat sayang dengan harga dirinya yang dengan terpaksa akan hancur—ogh, terdengar berlebihan sepertinya. Hm, tak apa—asalkan Rosie mau memaafkannya, kalau sampai dia tak mau memaafkan juga, ia berani bersumpah akan mencekik leher perempuan itu. Ah, hanya bercanda—jangan dimasukkan hati.
"Fabi--"Ha? Siapa yang barusan memanggilnya? Kontan sang kepala menoleh ke arah sumber suara—dan orang yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Rosemary Harrison—memakai baju terusan biasa, tanpa jaket dan sweater atau apapun. Ah, bodoh! Bodoh sekali kau, Dutie—mengajak seorang gadis untuk berdingin-dingin ria di tepi danau, ha? Ckck… Ia menegakkan tubuhnya, berdiri. Sedikit kehilangan keseimbangan sejenak, namun ia sanggup mempertahankan keadaan berdirinya. Manik kecoklatan itu saling bertatapan, heran. Fabi melirik ke arah jaket yang dikenakannya. Tanpa suatu komando apapun dan dari siapapun, ia mulai melepaskan jaket hitam miliknya dan mendekat ke arah Rosie.
”Kau seharusnya memakai jaket, manis”Ia berjalan ke bagian belakang Rosie dan mulai mengenakan jaket tersebut ke arah sang gadis dari belakang. Sedikit mencari-cari kesempatan, ia sejenak merangkul tubuh mungil itu dari belakang. Ah, belum saatnya—pikir Fabi. Ia melepaskan rangkulannya dan kembali ke hadapan Rosie.
”Aku yakin kamu pasti datang,”Ia mengambil nafas dalam-dalam kemudian mulai merangkul tubuhnya sendiri yang—menggigil yang hanya tertutup oleh kemeja putih. Manik itu memberanikan untuk menatap sang lawan bicara.
”Yea, aku yang mengundangmu—ehh, maaf harus di tempat dingin seperti ini, haha,”Sedikit tertawa basa-basi kemudian ia menundukkan kepalanya—sebut saja dia salah tingkah. Ya, salah tingkah—kalau bukan salah tingkah, kenapa dia sekarang mengorek-ngorek tumpukan salju yang ada dibawahnya tanpa sebab yang jelas? Hell… Rosie pasti menangkap gerakl-gerik salah tingkahnya ini.
Ia mendongak.
”Tujuanku hanya satu, dear… Minta maaf. Kukira—diriku banyak sekali menyakiti hatimu,”Menghembuskan nafas kembali—berat. Ia memejamkan matanya karena gugup alih-alih merasakan dinginnya udara luar.
”Ah, dingin ya ternyata?”Oh, sialan. Bicara apa dia barusan? Tak penting sekali.
”Aku tak berharap banyak kau akan memaafkanku, tapi yang jelas—aku bisa membuktikan kepadamu kalau aku sudah berubah,”—setidaknya, berubah hanya jika di depanmu. Haha. Tidak… hanya bercanda. Well, kini hanya menunggu jawaban dari sang gadis—semoga dia memaafkannya. Huh.
[RH]Dia sama sekali tak mengira jika akan menemui seseorang yang selalu membuatnya uring-uringan. Mengapa ia tak menyadari bahwa inisial FCD itu adalah
dia. Kemana saja selama ini kau Rosemary? Katanya suka dengan pemuda itu tapi inisialnya saja tidak tahu. Ha? Suka? Dengannya? Lelucon, tidak mungkin Mary menyukai seseorang yang menyebalkan seperti dia. Tapi mengapa kau selalu memikirkannya setiap hari bila tak menyukainya, eh? Suara hatinya yang lain lagi berteriak protes, seolah berdiri di depan Mary dan meneriakkan kata-kata tersebut padanya. Ia hanya menghela nafas pelan, menyerah.
Yang dapat ia lakukan sekarang hanya berdiri terpaku di atas tanah yang mulai terlapisi salju. Sepasang manik coklatnya hanya tertuju pada pemuda bertubuh tinggi menjulang di hadapannya, mengikuti arah langkah milik pemuda tersebut yang datang menghampirinya, semakin lama detak jantung Mary semakin tak beraturan, reaksi yang selalu timbul jika ia berdekatan dengan seseorang bernama Dutie ini.
Kau akan menyangkal apa lagi, Mary. Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri. Ia mendesah saat pemuda itu kini tepat berada di depannya, membuat Mary harus mengangkat wajah karena ukuran tubuh yang jauh melebihi tinggi Rosemary.
Masih terdiam, tak mampu mengeluarkan suara. Namun pandangannya masih menatap Fabi, yang sekarang sedang melepaskan jaket hitam yang ia kenakan. Mengatakan sesuatu yang menyatakan bahwa seharusnya Mary memakai jaket. Yah, memang dia tak mengira akan sedingin ini di luar kastil apalagi dibandingkan dengan ruang rekreasinya yang selalu hangat. Dan pemuda itu melingkarkan jaket hitamnya ke tubuh Mary, dengan lembut. Oh My, tahukah bahwa sikapnya barusan semakin membuat Mary sesak nafas? Tapi, dia harus waspada, karena ingatkan sekali lagi kepada Mary dua tahun lalu. Di Diagon Alley, apa yang pemuda itu lakukan padanya? Kemudian setahun lalu ketika memergoki Fabi yang terkena detensi, dia juga bersikap manis terhadap Mary. Dan setelah semua sikap manisnya kepada Mary ia berbuat apa? Menyakiti hatinya, kan. Jadi, berhati-hatilah.
”Aku yakin kamu pasti datang, Yea, aku yang mengundangmu—ehh, maaf harus di tempat dingin seperti ini, haha,"Patut dicurigai, pasti dia merencanakan sesuatu hal yang buruk kepada dirinya. Setelah Ellena yang menjadi korban kebrutalannya dan sekarang giliran Mary. Oh! Great, sekali lagi Mary disadarkan oleh sesuatu. Ini danau, tempat yang sama dimana ia menyerang Ellena hingga pingsan satu tahun lalu. Rupanya ia menjadikan Danau sebagai tempat favoritnya menyerang mangsanya, begitu? Berpura-pura bersikap baik, memang kau pikir Mary akan luluh dengan sikapmu itu, hm?
Rosemary kini memandang Fabi dengan tatapan tajam, menunjukkan sikap waspada, bahkan ia sudah mencengkeram Elder di saku bajunya. Bersiap melakukan antisipasi jika sewaktu-waktu makhluk di depannya ini menyerang dirinya. Mary melihat berkeliling, sepi. Hanya mereka berdua yang berada di tempat itu. Tentu saja, mana ada yang mau menghabiskan waktu senggang di antara udara dingin seperti ini. Dengan serpihan-serpihan salju yang mulai berjatuhan ke bumi. Oke, sebaiknya cepat karena semakin dingin.
”Tujuanku hanya satu, dear… Minta maaf. Kukira—diriku banyak sekali menyakiti hatimu,”Apa? Meminta maaf? Tu-tunggu, apakah Rosemary tidak salah dengar? Seorang Fabios Dutie meminta maaf kepada Rosemary. Gadis itu mengernyitkan dahinya, belum mengerti apa maksud di balik perkataan pemuda itu barusan. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tongkat Eldernya. Apa yang sudah Fabi lakukan hingga Mary sakit hati? Oh, banyak, banyak sekali malah. Bahkan ia sudah melakukannya di pertemuan pertama mereka di Diagon Alley dua tahun lalu. Meskipun sesungguhnya Mary bukanlah tipe gadis yang pendendam dan ia telah berusaha melupakan segala hal yang pernah dilakukan pemuda ini. Karena satu alasan.
”Aku tak berharap banyak kau akan memaafkanku, tapi yang jelas—aku bisa membuktikan kepadamu kalau aku sudah berubah,”Mungkin bila Mary tipe gadis yang bukan seperti ini, pemuda itu akan menemukan kesulitan dalam hal meminta maaf. Namun beruntunglah kau Fabi, menemukan gadis lugu dan mudah luluh seperti dirinya. Hanya dengan sedikit sikap gentleman dan berkata-kata manis sudah cukup melumerkan segala kekerasan hati gadis berusia tigabelas tahun itu. Tapi ada yang menarik diri Mary, kalimat terakhir yang dikatakan Fabi. Dia akan membuktikan bahwa ia berubah, dengan cara apa? Maka dari itu sedikit percobaan mungkin akan menyenangkan.
Mary berusaha untuk terus menatap tepat ke retina pemuda itu, menghela nafas sekali lagi dan mulai membuka suara "Aku...memaafkanmu, tentu saja--" ucapnya, menyerupai bisikan, dia tak perlu mengucapkannya terlalu keras, toh Fabi berdiri dekat sekali dengannya "Tapi, hal apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan bahwa kau memang benar-benar berubah?" terdengar seperti sebuah tantangan memang. Biar saja, lagipula dia sendiri yang mengatakannya, kan.
[FCD]Ah, jangan berprasangka buruk dulu, sayang... Ia benar-benar ingin meminta maaf—sungguh. Katakan saja ia sudah tak tahan harus memendam perasaan selama bertahun-tahun sejak kali pertama ia berkenalan dengan sang gadis—di toko eskim Parlour, Diagon Alley. Ya, ia masih ingat Rosie menunjukkan cincin keluarga Harrison—sampai akhirnya ia juga tahu kalau Rosie adalah anak teman lama ayahnya—melalui pertemuan beberapa tahun lalu di rumah Rosie.
Ia lebih memilih menghela nafasnya berulang kali alih-alih menatap sepasang manik dengan kilat kecoklatan di hadapannya. Ditambah lagi dengan kata-katanya barusan yang sangat—bodoh nan tolol. Sangat memperlihatkan kesalah tingkahannya kepada seorang gadis, benar? Memang bodoh—Fabi memang tolol, makanya itu kini ia sangat antusias dalam masuk kelas hanya demi mengasah sang otak ini. Ah, ini semua gara-gara Aferi. Sial.
"Aku...memaafkanmu, tentu saja—"APA?!
Ia mendongak, sebuah senyum—sangat bahagia—mencetak wajahnya sangat jelas. Aha, benar kan—jangan sebut dia seorang keturunan Dutie jika tak pandai merayu dan meluluhkan hati seseorang.
”Tapi, hal apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan bahwa kau memang benar-benar berubah?"Senyumnya memudar sesaat—digantikan dengan tatapan hampa dengan sedikit membuka mulutnya, terheran. Hm, pelajaran untuk hari ini: Jangan asal menyebutkan suatu kalimat jika tak sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya. Mati kau Dutie.Termakan omongan sendiri, eh? Lagi pula, kenapa juga dia mengatakan kalau dia sanggup untuk membuktikan kalau dia berubah?
Hell...Ia mengatur sikapnya—masih merangkul tubuhnya sendiri.
”Ohh, itu ya...”Otaknya berputar-putar memikirkan segala tindakan yang sanggup untuk melumerkan semua keraguan dalam benak elang di depannya. Ia menjejak-jejakkan kakinya ke atas tumpukan salju yang belum tebal—kedinginan.
Ide gila baru saja terlintas di benak seorang Fabios Curain Dutie”Bagaimana dengan menceburkan diri ke dalam danau yang mulai membeku itu?”Bersiap-siaplah untuk mati, Dutie. Catat itu.
[RH]Sekarang apa yang akan dilakukan Dutie, demi membuktikan bahwa ia benar-benar telah berubah. Jangan mengecewakan Mary untuk kali ini. Terdengar jahatkah Mary? Sebenarnya tidak kok, Rosemary bukanlah tipe gadis yang berbahagia di atas penderitaan orang lain, bahkan ia selalu tidak tega bila ada orang yang bernasib kurang beruntung darinya. Lalu, bagaimana dengan sosok pemuda di hadapannya ini? Well, meminta 'sedikit' bukti tidak masalah, kan. Karena sudah terlalu banyak 'dosa' yang telah dilakukan pemuda itu padanya, bahkan mungkin kepada orang lain. Dan, perbuatan buruk yang ia pernah lakukan langsung mengubah persepsi Mary terhadapnya. Siapa yang mengira bahwa orang yang telah mencuri hatinya ternyata adalah pemuda yang...ehm...brengsek.
Menunggu, dengan manik masih menatap wajah Fabi. Tidak menampakkan ketakutan ataupun kebencian dari pancaran wajah gadis berusia tiga belas tahun itu. Berdiri sempurna dengan wajah sedikit terangkat ke atas dan diselimuti jaket hitam di tubuhnya. Menatap sang pemuda yang semakin lama terlihat gelisah. Mengapa? Apakah begitu berat memenuhi permintaan bernada tantangan dari Rosemary?
Ah, jangan mengecewakanku, Fabi.Kegelisahan terlihat dari sikap yang ditunjukkan pemuda di hadapannya, namun Mary hanya terdiam tak memberikan reaksi apapun. Ia menunggu, sampai ia membuka mulut dan mengatakan sesuatu. Hembusan angin menyibakkan anak-anak rambut Mary, menerpa wajahnya dengan lembut...namun dingin. Hanya satu yang dapat sedikit menghangatkan tubuhnya. Jaket hitam milik
dia. Sedikit tidak tega melihat Fabi yang kedinginan seperti itu. Nah kan, sifat tidak tegaan Mary muncul lagi, bahkan kepada seseorang yang pernah ia benci.
Pernah? Jadi, sekarang sudah tidak lagi. Begitukah Mary? Yah, sedikit benci...hanya sedikit, tidak banyak seperti dulu.”Bagaimana dengan menceburkan diri ke dalam danau yang mulai membeku itu?”Mary langsung memalingkan wajahnya kearah Danau, nyaris membeku. Kemudian kembali menatap wajah pemuda di hadapannya. Menceburkan diri di sana? Tapi...Oh My! Apakah tak ada cara lain yang lebih mudah? Membayangkan dinginnya air Danau yang dapat membekukan tulang-tulangmu membuat Mary begidik ngeri. Namun, ia sendiri juga tak dapat memberikan alternatif lain bagi Fabi. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya. Ia menoleh lagi ke arah Danau yang terlihat tenang seakan tak ada kehidupan lain disana. Dan mengangguk pelan.
"Oke....lakukan saja"
Oh My! Apa yang diucapkan Mary? Membiarkannya menceburkan diri ke Danau? Ini sudah gila.
[FCD]Mati—mati—mati kau, wahai Dutie muda. Sebentar lagi sang gadis dipastikan akan menyetujui tawaran gila seorang Fabios Curain Dutie untuk menceburkan diri kedalam danau yang bahkan—nyaris membeku. Pasti. Ia kenal Rosie, tawaran seperti itu pasti akan dianggapnya sebuah tantangan yang menarik. Ck, meskipun sedikit banyak ia menebak pasti sang putri keluarga Harrison itu akan khawatir kepadanya. Hmph. Ya, ia tahu—dirinya memang sanggup berenang, tapi—kau pikir berenang di danau yang amat dingin itu normal, he? Tentu saja tidak. Kalian bisa berfikir kalau Fabi akan selamat dan tak akan mati nanti—tentu saja—kalau sampai mati itu berlebihan, tapi masih saja yang menjadi masalah—air di depannya itu dingin sekali, saudara-saudara. Bisa-bisa dia akan sakit dan tak akan masuk ke kelas manapun, setelah itu nilainya akan lebih buruk dari tahun lalu. Lantas, kalau sudah begitu, itu artinya—dia gagal dalam misi menyaingi sang adik. What. The. Hell.
Anak laki-laki itu menghembuskan nafasnya—setidaknya ini satu-satunya cara untuk menghilangkan kegugupan alih-alih merasakan segarnya udara sebelum—nanti. Bukan, bukan maksudnya akan mati. Yeah, kau pasti tahu maksud Fabi. Kedua lengannya memeluk tubuh semakin erat—hawa dingin semakin menusuk raga. Pemuda ini menundukkan kepalanya, menanti jawaban sang gadis, walaupun ia sudah ia menebak dengan pasti jawaban akhir tersebut.
"Oke....lakukan saja"Great.
Guess what? Rosie benar-benar menerima tawarannya. Memang itu salah dirinya sendiri sih—ia akui itu. Kenapa juga dirinya harus member tawaran super sinting itu? Argh, sudahlah—lebih baik tanggapi apa yang baru saja. Ia mendongak kembali, sedikit membelalakkan sang mata, namun kemudia kembali ke ekspresi normal. Memasang tampang pemuda sejati yang pemberani, lantaspun ia berkata:
”Oh, baiklah…’Ia tersenyum sangsi tiba-tiba saat menatap indahnya danau hitam. Betapa bisa dibayangkan betapa stress dirinya akibat ucapannya sendiri. Yah, terlalu gengsi jika ia harus mencabut ucapannya kembali, tentu saja. Ibaratnya apa itu? Menjilat ludah sendiri? Great, memang itu. Dan Fabi tak akan pernah melakukan hal itu. Sampai kapanpun—maaf saja. Ia mengangguk pelan ke arah Rosie—memandangnya alih-alih berharap agar Rosie yang mencabut perkataannya barusan. Tapi, itu jelas tidak mungkin.
Ia mulai melangkah ragu ke tepi danau. Kedua tangannya mencabut kancing kemejanya satu persatu—yea, ia tak mau kemejanya basah, tentu saja. Ia sudah tak punya cadangan kemeja lagi, yang satu lagi masih kotor. Fabi menanggalkan pakaiannya sehingga menampakkan tubuh tinggi besarnya. Kemeja tersebut sudah tergeletak di atas salju tak jauh dari dasar batang pohon tempatnya duduk tadi. Kedua kakinya mulai mencoba memasuki air danau. Sedikit melonjak—karena terlalu terkejut dengan dingin air yang sangat sangat seperti es—sungguh.
Walaupun perasaan gugup mendera—hawa dingin semakin menusuk raga, pemuda ini tetap akan melakukannya—demi seorang yang disayanginya. Yeah, DEMI!Tak mau berlama-lama lagi, sang pemuda pun nekat untuk melompat jauh ke tengah danau.
Satu… Dua… TIGA!!
KAPPA—silahkan terima raga ini! Ohh, jangan sampai! Jangan sampai ada Kappa yang menyambutnya disana. Ia memejamkan matanya dan…
BYURRR…
Dirinya dapat merasakan tubuhnya mengejang. Dingin, dingin, dingin. Hanya itu yang dapat ia rasakan. Fabios Curain Dutie masih memejamkan matanya, kedua tangannya berusaha menggapai permukaan—namun berkali-kali gagal. Dan dalam satu frame, dirinya akhirnya bisa mengendalikan tubuh miliknya. Namun jika dirinya segera menepi dari danau—itu sangat tak asik, kurang dramatis, ia kira. Kesempatan—yeah, saatnya untuk
itu. Dia menenggelamakan dirinya sendiri, menyelam… kedua tangannya ia keluarkan ke permukaan sembari memukul-mukul air.
”Help…”Ini baru namanya dramatis. Okay? Ahaha.
[RH]Apakah benar dengan apa yang diminta oleh Mary? Menyuruh Fabi membuktikan perkataannya dengan melakukan hal yang mengerikan seperti ini. Mary sedikit menyesal sebenarnya, mengucapkan kalimat terakhir yang meluncur begitu saja. Membiarkan emosi yang memutuskan apakah Mary mengatakan 'Ya' atau 'Jangan' daripada logika dan otak. Ia ingin mencegah pemuda itu namun terlambat. Tubuh tinggi menjulang yang dari tadi berada di hadapannya segera berbalik, setelah mengatakan bahwa ia bersedia melakukannya, menjauhi Mary yang hanya diam membisu, dan mendekat ke arah Danau yang terlihat tenang namun menyimpan banyak bahaya di sana.
Begitu jahatkah Rosemary sehingga menyuruh seseorang yang dikasihinya melakukan semua ini? Sebenarnya tidak perlu bagi Fabi untuk melakukannya, asalkan dia sungguh-sungguh menepati segala ucapan yang keluar dari bibirnya. Mary percaya pada pemuda itu, sepenuhnya. Hanya tadi sisi buruknya yang mendominasi segala akal sehat yang dimiliki oleh Mary sehingga ia menyetujui tawaran Fabi.
Mary masih berdiri di tempatnya, yang berjarak kurang lebih lima meter dari tepi Danau, memalingkan wajah untuk menatap sosok tinggi yang berjalan semakin jauh darinya. Entah mengapa ada terbersit rasa kasih yang begitu kuat saat melihat pemuda itu mulai menyentuh pinggiran Danau, kekhawatiran yang begitu mendera dirinya setelah manik coklat itu benar-benar melihat sang pemuda menceburkan diri ke sana. Lebih tepatnya, rasa takut kehilangan dirinya. Ternyata, Rosemary tak bisa sungguh-sungguh membenci pemuda itu, perasaan yang selama ini ia pendam kini muncul kembali bahkan bertambah kuat. Bagi Mary, pemuda yang menyebalkan, arogan, angkuh, suka berbuat onar, dan memiliki musuh yang sangat banyak itu adalah... cinta pertamanya.
Menyadari hal itu, Mary langsung bergegas menuju tepian Danau. Sudah cukup, lagipula Fabi sudah memenuhi tantangannya tadi, kan. Tak perlu terlalu lama di dalam sana, dingin dan pastinya akan membuat kondisi fisik pemuda tersebut dapat menurun dalam cuaca seperti ini. Rosemary melihat ada sesuatu yang terjadi. Selama beberapa saat ia tak melihat Fabi dari permukaan Danau, gadis itu menunggu dengan tidak sabar, masih tak ada tanda-tanda Fabi akan muncul. Merlin! Dimana dia? Wajahnya semakin terlihat panik saat ia menemukan sebuah gerakan berasal dari danau, kedua tangan pemuda tersebut terangkat, seperti berusaha untuk keluar dari dalam air. Rosemary menahan nafas, apa yang terjadi?
”Help…”Oh My...Oh My... dia kenapa? Rosemary menutup mulutnya, apakah ada makhluk di dalam air yang mencoba menyerang Fabi? Bukankah ia tadi mengatakan bahwa ia membutuhkan pertolongan? Sekali lagi Rosemary melihat berkeliling, tak ada orang. Hanya ada satu cara, dan dia sendiri yang harus melakukannya. Tapi, ya ampun ini dingin sekali! Lagipula Mary belum pernah berenang di tempat seperti ini sebelumnya. Belum-belum tubuhnya sudah menggigil mengingat hal tersebut.
Tapi kau harus melakukannya, Mary. Atau kau akan kehilangan dia. Tidak, Mary tak ingin kehilangan seseorang yang ia cintai, setidaknya bukan hari ini.
Ia segera melemparkan jaket yang dari tadi menyelubungi tubuhnya, tergeletak di atas kemeja milik Fabi, tanpa memperdulikan dinginnya air danau maupun cuaca yang tak bersahabat, Mary ikut menceburkan diri ke danau yang sudah hampir membeku itu.
Terpekik sesaat, setelah seluruh tubuhnya merasakan dinginnya air yang mampu membekukan tubuhnya sewaktu-waktu, namun ia terus berenang sampai mendekat ke arah Fabi. Mencoba menarik tubuh yang ukurannya jauh lebih besar darinya, sulit, namun ia terus berusaha. Entah ada makhluk atau pengaruh dari air yang terlampau dingin, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang terjadi di kedua kakinya, tak mampu ia gerakkan secara maksimal. Mary mencoba menggerakkannya kembali namun gagal. Semakin lama ia merasakan tubuhnya seperti mati rasa, kesadarannya mulai berkurang. "Fabi...mungkin-aku-yang-akan-tenggelam" bisiknya hampir tak terdengar.
[FCD]Fabi memang keterlaluan--ia meyakini itu dalam hati. Ia menunduk dalam gemuruh air di telinganya; menyesali perbuatannya yang ditambah lagi berpura-pura tenggelam seperti sekarang. Kalau dirinya begini, lalu sang gadis ikut menyusul menceburkan diri dalam danau yang bahkan dapat membekukan seseorang yang memang tak tahan dingin dalam waktu kurang dari lima menit, bagaimana? Fabi sudah sinting--sungguh. Dan dirinya sendiri mengakui itu. AKH!!! Sudahlah, lebih baik membongkar sandiwara ini. Dirinya mencoba berenang kembali ke permukaan, telapak kakinya dapat merasakan sesuatu. Keram? Ah, jangan sampai. Fabi bisa mati, kalau begitu.
Ia memejamkan matanya--masih berusaha bergerak sekuat tenaga agar sang kaki bisa bergerak dengan bebas; menggerak-gerakkan kasar semaunya--tak mempedulikan betapa sakit sang kaki apabila terus-terusan diperlakukan seperti itu. Ia menghembuskan nafasnya dalam dinginnya air, menciptakan gelembung-gelembung udara yang mengarah ke permukaan. Sesaat dirinya dapat mendengar helaan nafas berat dari dirinya sendiri.
INI SITUASI GENTING!
Dirinya benar-benar tak sanggup mengendalikan sang kaki walaupun dipaksa sebagaimana bentuknya. Tidak--jangan sekarang. Jangan sekarang apabila ia akan mati. Dia masih ingin hidup--masih ingin menyesap udara selama berpuluh-puluh tahun berikutnya dan tentu saja--dia masih sangat ingin bertemu seeorang yang sangat ia cintai. Ah, ini semua ulahnya sendiri--tak sepatutnya ia menyesali keadaan seperti ini.
Kau saatnya untuk mati Fabi, dear...Suara itu melintas dalam benak--layaknya suara Rosie. Tapi mana mungkin Rosie berani mengatakan hal demikian? Bodoh! Itu hanya imajianasi. Jangan pedulikan! Segala ucapan kotor keluar dengan indahnya dari mulut anak laki-laki itu. Sekarang suatu hal lain mulai membuat degup jantungnya makin berdegup cepat nan hebat: ia tak sanguplagi menghirup oksigen. Dadanya benar-benar sesak--beberapa telah terisi oleh air yang tanpa permisi memasuki organ-organ dalam tubunya. Merlin...
Kali ini seorang Fabi hanya mengharap sebuah keajaiban turun untuknyaJemari kakinya tiba-tiba saja bergerak. Ia terhentak dan tak mau membuang-buang waktu lagi untuk segera memaksa sang kaki agar mau mendorong air untuk sampai ke permukaan danau.
DAN--YAK! BERHASIL, SAUDARA-SAUDARA!
Ia berenang ke permukaan. Singkat cerita, dirinya mendengar suara sesuatu yang tercebur ke dalam danau. JANGAN! Jangan sampai dia Rosemary. Dia tak akan pernah memafkan dirinya sendiri apabila terjadi sesuatu kepada sang gadis. N.E.R.A.K.A. Seseorang berhasil merenggut lengannya--berusaha membuat anak laki-laki ini menepi ke tepi danau. Namun lain cerita, sang gadis malah membisikkan sesuatu;
"Fabi...mungkin-aku-yang-akan-tenggelam" APA?!
Betapa gugupnya seorang Fabi. Dengan satu gerakan cepat diikuti gesture tubuh yang cepat pula, dia menarik lengan Rosie dan segera memeluk pinggang gadis tersebut sambil berenang. Ia dapat melihat Rosemary memejamkan matanya. Itu berarti dia--MATI? Ah, jangan! Jangan sampai. Semoga dia hanya pingsan.
Lengannya berpegangan ke arah permukaan tanah, mencoba sekuat tenaga agar sanggup menaiki permukaan tanah berlapis salju yang tak terlalu tebal itu. Akhirnya kedua entitas basah kuyup itu berada di permukaan tanah. Tanpa pikir panjang, Fabi meraih jaket hitamnya yang tergeletak tak jauh dari mereka berdua dan segera menempelkannya ke arah tubuh mungil yang sekarang menjadi pucat pasi. Ah, maafkan aku, sayang...
Di satu sisi, dirinya tengah kebingungan sendiri bagaimana cara membangunkan gadis kecil disampingnya ini--yang tengah tergeletak tak berdaya. Ah, sebuah ide baru saja melintas singkat dalam benak.
Nafas buatan, maksudmu?Iya, tak ada lagi kecuali itu. Fabi menatap bibir mungil orang didepannya. Menarik nafas singkat dan tak mau berlama-lama bibir pucat miliknya kini bersentuhan dengan bibir pucat lainnya sembari menghembuskan sebuah angin--nafas--ke dalam orang di dalamnya. Sekitar dua menit berlalu dan ia melepaskan dekapan mulutnya ke mulut Rosie--setelah sebelumnya meniupkan angin buatan berulang-ulang kali, tentu saja.
[RH]Semakin tak dapat digerakkan, kaku, kebas, dan mati rasa. Dinginnya air seakan membekukan seluruh bagian tubuh mungil miliknya. Membuatnya panik, tak mampu berpikir secara rasional lagi. Kepanikan tak wajar yang jarang sekali ia rasakan, namun ia tahu bahwa ini menyangkut masalah nyawa. Nyawanya dan nyawa pemuda bernama Dutie ini.
Terengah-engah berusaha membebaskan diri dari kebekuan yang menyerang kedua kakinya, semakin banyak air danau yang masuk baik melalui mulut maupun hidung. Menyebabkan ia tak sanggup bertahan dalam kesadaran penuh, semakin lama pandangannya semakin kabur. Lelah, dan putus asa. Namun ia sempat membisikkan sesuatu kepada sang pemuda yang semoga saja ia mendengarnya. Bertumpu pada diri pemuda itu atas segala leselamatan nyawanya. Untuk sementara lupakan segala perasaan benci yang sempat melingkupi diri gadis ini.
Percayalah padanya, Mary. Untuk kali ini.
Entah berapa lama Mary seperti berada dalam sebuah tempat yang tenang, dengan kehangatan sinar mentari yang menghangatkan jiwa, dikelilingi warna warni bunga kesukaannya, mawar. Dan di sana, dihadapannya, ia melihat dia. Terlihat tampan dengan setelan jas putihnya, tersenyum kepada Mary. Senyuman yang baru kali ini Mary lihat, senyuman yang begitu...tulus. Lalu, ia berjalan mendekat kearahnya dan memberikan seikat mawar merah dengan pancaran mata penuh kasih. Membuat gadis itu terpana selama beberapa saat melihat seseorang yang begitu berbeda. Pemuda itu masih tersenyum, dan mendekatkan kepalanya ke arah Mary, semakin dekat bahkan hanya berjarak beberapa senti saja ketika ia merasakan seolah ada yang bergolak dari dalam perutnya, dan...Uhuk....uhuk...Seketika sinar mentari memudar, kehangatan yang ia rasakan sirna dan tak ada mawar-mawar di sekelilingnya. Semua menjadi dingin, seperti yang ia rasakan sebelumnya. Perlahan ia membuka mata, menatap pemuda di hadapannya tidak mengenakan jas putih, tak memakai apa-apa, senyuman yang tergambar di wajahnya juga tidak nampak. Merlin! Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah Mary tadi bermimpi?
Ia mengerjapkan kedua matanya, mencoba memahami apa yang baru saja ia alami sampai kesadaran yang ia miliki kembali sepenuhnya. Pusing. Namun ia menarik nafas panjang dan perlahan ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi pemuda itu dengan ujung-ujung jarinya, lalu kedua ujung bibir sehingga membentuk sebuah senyuman.
"Thank's" bisiknya lirih, sambil terus menatap wajah yang sama pucatnya mungkin dengan wajah Mary. Bagaimanapun juga pemuda ini telah menolongnya. Tapi, keadaannya bagaimana? Ah, semoga saja ia tidak apa-apa.
[FCD]Degup sang jantung masih bergolak, cepat. Ia berusaha mengatur nafasnya segera. Entitas dengan jiwa melayang untuk sementara masih menjadi satu-satunya pancangan perhatian sang Dutie. Terdiam beberapa saat setelah bibir itu menjamah bibir yang lain. Nafas buatan maksudnya, jangan berfikir negatif dahulu. Ia masih tergugup, seluruh raganya basah kuyup. Begitu pula gadis di depannya. Satu hentakan hati mengejutkan benak. Tersadar akan keadaan dirinya yang telanjang dada.
Ah, maafkan aku... Lengannya dengan tangkas meraih kemeja putih miliknya, mengenakannya singkat dan merasakan efek kapilaritas pada kemejanya. Ia tak peduli.
Uhuk...uhuk...Maniknya bergerak cepat. Sosok itu terbangun; Rosie telah sadar. Satu kancing lagi dan kemeja itu telah lengkap melingkupi raga. Sementara, guratan penuh kebahagiaan mulai terpatri jelas di setiap ujung bibirnya. Ia menyentuh telapak tangan anak perempuan itu, menggenggamnya dengan telapak tangannya--mengibarkan sang asa. Rosie mengangkat tangannya dan sepersekian detik selanjutnya tangan itu menyentuh pipinya.
"Thank'sIa tersenyum tulus. Degup jantung itu makin berdetak nyata, lebih cepat dari sebelumnya. Dan Fabios Curain Dutie bahagia. Ini kali pertamanya rasa ini singgah di hati--sungguh. Fabi tersenyum seketika. Bibirnya tak sanggup lagi untuk berkata-kata, suaranya tercekat di tenggorokan, sehingga anak laki-laki ini tak sanggup mengutarakan apapun kepada gadis itu. Satu hal lagi--entah mencuat darimana--refleksi jiwa dan raga bersatu, mengisyaratkan satu perintah tak terbendung dalam benak. Dan ia mendekatkan tubuhnya ke tubuh sang gadis, melingkarkan kedua lengannya memeluk raga mungil itu. Semakin erat. Seolah tak ingin sosok itu lenyap dari kehidupannya bahkan untuk satu jengkal nafas kehidupan.
Beberapa menit berlalu dan ia melepaskan dekapannya, perlahan. Ujung-ujung jari kedua telapak tangannya menyentuh pipi Rosie. Membuat jarak antar wajah itu hanya satu jengkal tanpa satu penghalang apapun. Sementara hembusan nafas menampar satu sama lain, lembut. Fabi tersenyum, ia tak mau melewatkan kesempatan terlangka ini. Ia menarik tubuh itu kembali dan mendekapnya untuk kedua kalinya. Rona kebahagiaan semakin tersirat dari parasnya bahkan ini tak pernah terjadi sebelumnya; dari sejak ia kecil sampai masuk ke Hogwarts.
"Jadi, kau sudah memaafkanku, bukan?"--bisiknya ke telinga Rosie yang tepat disampingnya. Well done, Dutie.
[RH]Bagaimana keadaannya sekarang?
Pertanyaan yang mengarah untuk dirinya sendiri maupun seseorang di hadapannya, di antara gemerisik suara daun yang saling bertemu juga rasa dingin yang tak henti-hentinya menyiksa raga. Ia ingin tahu. Apakah benar sekarang dia kembali ke dunia nyata setelah beberapa saat dunia bawah sadarnya yang mendominasi? Menyajikan sebuah imaji indah yang merupakan perwujudan dari segala harapan yang tersimpan rapi di lubuk hati. Tertimbun di bawah puing-puing kebencian tak beralasan yang seakan menutup hatinya. Benarkah seseorang yang dihadapannya ini sama dengan sang pangeran ber-jas putih dengan membawa seikat mawar merah yang terulur untuk sang putri? Ataukah dia adalah orang lain dan sang pangeran sesungguhnya tak pernah ada.
Apabila memang semua tak terwujud, izinkan Mary untuk menikmati sedikit mimpi indah itu lagi, meskipun itu sangat mustahil dan Mary tahu itu.
Seulas senyuman tersungging dari bibir pemuda ini, membuat sang gadis sedikit bernafas lega. Setidaknya, pertanyaan yang sempat menggantung telah terjawab hanya dengan sebuah senyuman yang tercipta. Lalu, sikap dari apa yang dilakukan sang pemuda tak hanya berupa sebuah senyuman saja, melainkan pelukan yang menyebabkan Mary tersentak untuk beberapa detik. Pelukan ini, dia sempat merasakannya beberapa tahun yang lalu, dengan orang yang sama hanya berbeda lokasi saja. Memori indah yang sengaja ia simpan rapat-rapat bahkan tak ingin mengingatnya hanya dalam waktu satu detik, kembali menyeruak. Seketika kekhawatiran mulai melanda, ketakutan bahwa ia akan mengalami kekecewaan setelah memeluk sang pemuda seperti tiga tahun lalu semakin membuatnya tidak tenang, seiring dengan dekapan sang pemuda yang mulai terlepas dari tubuh mungilnya...Jangan! Jangan lakukan lagi...
Dadanya mulai terasa sesak, ia tak ingin kecewa lagi. Tak tahukah bahwa itu sangat menyiksa Mary? Ia kembali menghela nafas, berusaha untuk tenang dan mulai merasakan ujung-ujung jari telapak tangan Fabi menyentuh pipinya, lembut. Sehingga ia dapat melihat dengan jelas wajah tampan milik Fabi, terpaku menatapnya tanpa berkedip. Berharap agar kali ini pemuda itu tak membuatnya kecewa untuk kesekian kali. Ia tersenyum dan menarik tubuh Mary ke dalam dekapannya kembali, dan Mary menenggelamkan kepalanya ke dada pemuda itu, memeluknya erat.
Kehangatan yang dirasakan Rosemary diantara sergapan udara dingin di sekelilingnya membuat ia bahagia, masih memeluk erat pemuda itu tanpa kekhawatiran bahwa Fabi akan membuatnya menangis karena sedih.
"Jadi, kau sudah memaafkanku, bukan?"Sebuah pernyataan yang sempat terlupakan oleh Rosemary, bukankah itu tujuan Fabi melakukan semua ini? Agar Mary mau memaafkannya. Tentu saja Mary memaafkan pemuda itu, dan ia tidak akan mengizinkan Fabi untuk menceburkan dirinya lagi untuk membuktikan sesuatu. Tidak, bila nyawa yang menjadi taruhannya.
Perlahan ia melepaskan kedua tangan yang melingkar di tubuh sang pemuda, menatapnya kembali. Hanya dengan sebuah anggukan singkat semoga saja ia tahu bahwa Rosemary telah memaafkannya. Hanya sebuah pertanyaan kembali terucap dari bibir Mary, mengulang pertanyaan yang sempat timbul dalam benaknya. "Bagaimana keadaanmu? Apakah kau tidak apa-apa?"
[FCD]Ia mendekap tubuh itu, tubuh seorang gadis mungil yang kian menjadi satu-satunya orang yang sanggup merubah kepribadiannya sejauh ini. Cinta yang mendalam memang menebarkan energi positif yang mengubah hidup seseorang, bahkan menerangi kehidupan orang banyak*. Itu semua terealisasikan dalam dirinya, dalam jalur rumit kehidupannya--dan tak ada yang menyangka itu, termasuk dirinya dan gadis itu, bahkan semua sosok yang mengenal dekat maupun mengerti sifat dari seorang Fabi sejak ia kecil sampai bertumbuh besar hingga empat belas tahun seperti ini. Apakah ini seorang pertama dan terakhir yang sanggup mengisi rongga hatinya?
Yakin--hanya itu.
Berawal dari pertemuan biasa di toko eskrim Parlour. Menekankan kata kelicikan pada pandangan pertama dirinya saat sebuah cincin bangsawan melingkar di jari manis gadis tersebut teracung ke hadapan sang mata. Membulatkan tekad untuk tetap memperalat gadis tersebut sampai akhirnya waktu mengubah segalanya, kejadian demi kejadian membangkitkan nurani yang selama ini tak pernah ada. Dan bahkan ia tak akan yakin kalau nurani itu akan timbul jika tanpanya disini, disisinya.
Fabi melepaskan dekapannya, memandang Rosemary dengan seulas senyum dari bibir pucat terpatri disana. Kedua telapaknya masih menyentuh pipi orang di depannya. Menangkap sebuah anggukan pelan dari gadis itu--menginterpretasikan singkat dan ia dapat melihat bibir mungil itu bergerak, merangkai sebuah kalimat pertanyaan yang menenteramkan hati; membuat pancaran sinar dari sang rona bergemelayut riang. Ia menanyakan keadaannya. Fabi hanya tersenyum sembari makin mendekatkan wajahnya ke arah wajah sang gadis.
"Aku baik-baik saja, dear. Kau baik sekali. Seharusnya kau tak perlu mengkhawatirkanku, dirimu lebih penting daripada segalanya, termasuk diriku,"Ia mengembangkan senyumnya semakin manis. Sementara sang wajah semakin mendekat ke wajah yang lain. Bibir kedua insan itu bertemu di salah satu titik. Membuat sebuah lumatan singkat kemudian bergerak saling menjauh. Menghela nafas sebentar, ia melepaskan tangannya dari pipi sang gadis. Fabi berdiri, sementara kedua tangannya terjulur ke arah Rosie yang mendongak ke arahnya. Gadis elang itu meraih tangannya dan mereka berdua berdiri berhadapan. Ia sadar, mereka belum ada ikatan hati tertentu. Ia hanya mencoba membantu gadis yang tengah diselimuti kedinginan nyata dalam raganya--seperti dia. Ia memegang pinggang Rosie dan pergi dari danau.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wow....! Mom and Dad....Ternyata romantis sekali, ehm ngga menyangka bahwa Dad sayang banget sama Mom. Tapi, bukankah waktu itu Mom baru berumur tigabelas tahun? Dan sudah berciuman dengan Dad? Bagaimana reaksi Granma bila mengetahuinya ya? Hmm... Vio tak perlu tahu. Nah, sekarang Vio simpan dulu surat-surat ini. Tenang, masih ada lanjutannya. Dan sekarang, Vio mau turun ke lantai bawah karena sudah waktunya makan siang...see u next time...