Uhm, oke sekarang Vio mau lanjutin lagi baca surat-surat berisi kisah cinta antara Mom and Dad... Jujur yah, Vio iri lho, pengen banget dapet seorang kekasih seperti Dad yang terlihat sayang sama Mom...huehuehue, bikin iri. Nah, sebaiknya cepat saja mumpung Mom belum kembali dari Kementerian dan Fablo sedang sibuk bertengkar dengan Aldo. Memperebutkan apa Vio tidak tahu. Malas ah, mengurusi dua adik yang sama-sama bandelnya, capek. Mendingan ikut Vio melanjutkan cerita ini....
Oh iya, kalau dilihat dari tanggalnya sih kejadian berikut kira-kira dua bulan setelah cerita pertama tadi, sekitar bulan Desember... yep, bulan di mana Mom berulang tahun. Kira-kira waktu itu Mom dapat hadiah apa yaa...??
_____________________________________________________________________________________________________________________
FCD
”I love you, Rosie”
Maniknya berputar dalam rongga dengan cepat di hadapan sebuah kaca di dalam kamarnya. Persetan dengan Rhouzier yang sudah tidur lelap tak jauh dari tempatnya berdiri.
”Ok, sekali lagi—aku cinta kau, Rosie—”
”Akh, salah! Jangan begitu Dutie tolol. Itu terlalu cepat!”
Ia memarah-marahi bayangan dirinya dalam kaca di depannya.
”Mmm, bagaimana kalau begini—aku... cinta... kamu... Rosie... ”
”Ah, no way! Malah terkesan kalau kau gugup, sialan!”
”Arrgghh, bagaimana ini, eh? Kau bahkan sama sekali tak mengerti cara menyatakan perasaanmu, bodoh!”
Tangannya menunjuk-nunjuk bayangannya sendiri dalam kaca tersebut sebelum akhirnya melipatnya di depan dada.
”Kenapa kau lihat-lihat? Sudahlah, pergi sana kau!”
______________________________________________________________________
December, 5th 1981
20.00
______________________________________________________________________
Malam bertabur bintang dan torehan senyum tak kasat mata tengah menengadah di tengah-tengah. Senja yang telah lama sirna membuka jiwanya, walau hawa dingin merasuk penuh ke dalam raga dan tetap tak menyurutkan pemulaian sebuah cerita antara dua insan yang saling menyayangi namun dengan penuh, tertutup suatu rasa; mengekang makhluk di dalamnya yang meronta tak sabar. Puing-puing asa menyatu kembali sejak akhir bulan kesepuluh walau menyimpan kepenatan tersendiri yang kian menyadarkan sang jiwa yang terpuruk meski kiranya hanya untuk sementara. Hatinya senang, tentu saja—walau degup jantung menyeruak kasar dengan suara yang abnormal melalui sang gendang telinga—
hanya perasaan, tenang saja..
Semburat temaram dari lilin-lilin kecil yang membentuk sebuah bentuk ‘hati’ di atas lantai batu menara kastil tua ini menjadi salah satu dari sekian hal yang menarik perhatian; menambah kesan romantis dalam acara terpenting milik seorang pemuda kali ini. Di tengah-tengahnya terdapat satu buah meja makan bundar dengan dua kursi yang saling berhadapan di samping kanan dan kiri meja tersebut. Di atas sang meja, telah tertata rapi berbagai peralatan makan porselen beserta makanan-makanan buatan peri rumah dengan lilin-lilin panjang beserta satu vas bunga mawar merah tepat di tengah meja. Sementara bunga-bunga mawar merah lainnya bertebaran dimana-mana; disetiap sudut pelataran menara kastil yang lengang dalam keremangan nyata. Menjadikan tempat ini layaknya restoran ekslusif yang telah dipesan oleh seseorang bersama kekasihnya—walau dalam kenyataan, dia belum menjadi sang pengisi rongga hati.
Telah terduduk di salah satu kursi di depan meja, seorang lelaki muda dengan usia yang baru menginjak empat belas tahun dan akan menjadi lima belas Februari kelak dengan jas hitam beserta kemeja putih yang menempel tubuhnya. Menanti kehadiran seorang gadis kecil yang telah diundangnya melalui sebuah surat yang dihantarkan oleh satu siswi Ravenclaw; Steinhart. Mata pemuda itu terpejam sejenak, menahan debar jantung yang semakin lama semakin bergolak cepat dalam jiwa. Menoleh dalam keremangan ruangan tak beratap—anak itu menggoreskan senyum ketenangan sekaligus bahagia kala sosok yang dinanti telah datang. Ia berdiri, membuat bagian bawah blazer panjang hitamnya mengibar di belakang—masih mempertahankan senyumnya sembari mendekat ke arah gadis yang dimaksud.
”Kemarilah, tak apa,”Tangannya terjulur dihadapan sang gadis. Desauan angin masih menerpa raganya, diiringi dengan suhu dingin yang menusuk, kekal. Walau masih bisa disyukuri, malam ini—salju berhenti turun. Aha.
[RH]Selamat ulang tahun, Mary...
Happy birthday my sista..
Wish all the best for you...Rosemary tersenyum membaca satu persatu pesan yang tertulis di masing-masing kartu ucapan. Dari orangtua, kakek-nenek, sahabat, serta dari Martha, sepupunya yang cerewet yang khusus mengirimkan dari Beauxbaton. Mary bahagia tentu saja, karena meskipun ia jauh dari mereka semua namun ternyata mereka masih mengingat ulang tahun Mary.
Ada sesuatu yang menjadi perhatiannya kemudian...
Sebuah surat atau undangan yang ia terima dari seniornya beberapa jam yang lalu membuat Rosemary menyingkirkan untuk sementara kartu-kartu ucapannya. Membaca dengan serius isi dari selembar perkamen yang ternyata dikirim oleh seseorang.
Dia, ingin menemui Mary malam ini, di menara. Menyadari bahwa ia akan bertemu dengan seseorang membuat gadis itu terdiam beberapa saat. Memikirkan apa yang akan terjadi malam nanti.
Semakin mendekati waktu yang ditentukan, semakin membuat Rosemary gugup. Dia masih belum tahu dengan rencana yang telah dibuat oleh pemuda itu. Apakah akan ada sebuah acara meminta maaf lagi? Atau apa? Rosemary sama sekali tidak dapat menemukan petunjuk. Menghela nafas pelan ia menuju lemari pakaian, menyisir baju-baju miliknya dengan gerakan tangan yang cepat dan tergesa. Selama beberapa menit ia berkutat pada pakaian yang hendak ia kenakan malam ini. Bingung, bahkan peluh membasahi kening serta leher, padahal semua tahu bahwa ini musim dingin tapi mengapa Rosemary masih saja berkeringat di dalam kamarnya yang bertemperatur rendah ini.
Ia melirik ke arah jam yang berada di atas nakas, kurang sepuluh menit dari waktu yang ditentukan. Oh My! Rosemary belum menemukan baju yang cocok! Bagaimana ini?
Tenang Mary....tenang, ambil nafas dan yakin pasti kau dapat melakukan ini. Ia berusaha untuk tenang, meskipun detak jantungnya semakin cepat. Oke, hanya memilih baju, jadi pilih yang aman untuk malam ini. Ingatkan bahwa sekarang musim dingin sehingga ia harus menyingkirkan gaun bertali. Lalu untuk warna, sebaiknya warna simpel saja, Mary tidak suka warna yang terlalu mencolok.
Setelah melakukan berbagai pertimbangan akhirnya pilihan Rosemary jatuh pada
dress cantik berwarna putih yang sudah dari tadi memang ia incar. Sebaiknya cepat karena sudah hampir pukul delapan tepat.
Dimana tempatnya? Ah, ya menara. Untunglah lokasinya tidak begitu jauh sehingga Mary dapat berjalan dengan sedikit santai. Dengan memakai jubahnya ia menaiki undakan menuju menara, sepi, tidak berpapasan dengan siapapun. Semakin dekat dengan tempat yang dituju, detak jantungnya semakin tak terkendali.
What a wonderful place...?Lilin-lilin yang membaurkan cahaya temaram, membentuk sebuah simbol yang sangat familiar bagi semua orang. Tanda cinta berbentuk hati yang mengelilingi sebuah meja makan berbentuk bundar dengan vas bunga mawar di tengah-tengahnya. Dan aroma ini, mengingatkan Mary akan tempat tinggalnya, yang selalu menumbuhkan perasaan nyaman setiap kali menghirup wanginya. Gadis itu memejamkan mata sejenak, menikmati aroma bunga mawar yang semerbak memenuhi tempat ini.
”Kemarilah, tak apa,”Ternyata
dia telah menunggunya disini. Dengan penampilan yang sangat berbeda dari kesehariannya, sekali lagi, Rosemary mendapat sebuah kejutan. Setelah ia dibuat terpesona dengan tempat yang begitu indah, sekarang di hadapannya berdiri seorang pemuda yang membuat gadis itu terpana. Selama beberapa detik Mary tak bereaksi apa-apa, namun setelah kedua tangan sang pemuda terulur padanya, Mary segera menyambutnya. Meraih dengan kedua tangannya yang masih bebas. Gadis itu menunggu, apa lagi yang akan dilakukan sang pemuda.
[FCD]Gadis di depannya cantik—sungguh, ia tak bohong. Dengan dress cantik berwarna putih menimbulkan buncahan asmara penuh kasih dalam jiwa. Mengobarkan semangat penuh nan tak sabar untuk menyatakan perasaan dan pada akhirnya—dia akan menjadi milik seorang Dutie. Wangi bunga-bunga mawar menyelusup melalui rongga hidung setiap insan yang ada disini. Ia tahu—selain wangi ini dapat menenangkan hati—ia memilih bunga mawar sebagai bunga dominan disini adalah karena sekedar mencocokkan dengan nama entitas calon pengisi ruang hati. ‘Rosemary’ berarti mawar kan? Tak perlu waktu lagi untuk meyakinkan diri sendiri kalau orang di depannya juga pasti suka dengan mawar. Itu pasti—percayalah.
Rosie menyambut uluran tangannya dan pemuda itu menambah lengkungan pada sang bibir. Tersenyum manis, pemuda itu menuntun sang gadis untuk mendekat ke arah meja bundar di tengah-tengah lingkaran lilin-lilin kecil yang membentuk sebuah simbol ‘hati’ jika dilihat dari atas. Tak ada deskripsi dalam penggambaran perasaannya untuk kali ini. Sungguh—antara gugup, senang, takut, dan sebagainya menbaur menjadi satu dalam satu pancangan tertentu.
Ia melepaskan tangan mungil tersebut kala mereka sudah berada di depan sang meja bundar, berjalan perlahan menuju satu kursi dan menariknya sedikit untuk tempat duduk sang putri dalam narasi kali ini. Tangannya kembali terulur, kali ini untuk menuntun sang putri agar duduk di kursinya. Ia hanya tersenyum alih-alih mengucapkan sepatah katapun—ia gugup, saudara, suaranya seolah tercekat pada tenggorokan—. Langkahnya merajut bayangan kembali. Ia tak duduk di kursinya, setidaknya setelah ini.
”E-err, tunggu disini, Rosie. Aku ingin kesana sebentar,”Telunjuknya menunjuk ke arah sebuah lorong kecil. Membalikkan badannya tanpa persetujuan dari Rosie, ia pun melangkah. Tahu? Ia akan memberikan banyak kejutan malam ini, dan yang akan ia lakukan sekarang merupakan masih dalam konteks sampingan dari tujuan utama—ya, ia memang sengaja menepatkan malam terpentingnya ini tepat pada hari ulang tahun Mary; tanggal 5 Desember 1981—ia tahu itu, tentu saja. Haha. Selang beberapa menit yang
tak lama, pemuda tersebut kembali ke tempat utama. Membawa sebuah kue ulang tahun ukuran sedang dengan empat belas lilin menyala mengelilingi kue itu dan satu lilin berbentuk angka empat belas tertancap penuh di tengah-tengah.
”Happy Birthday, dear... wish all the best for you,”Menghela nafas, pemuda itu menatap pasangan makan malamnya kali ini—dengan senyum tak tergoyahkan sedikitpun, tentu saja.
”Make a wish first, Rosie” ucapnya saat Rosie masih saja terdiam nan terkejut. Cahaya temaram dari lilin-lilin yang mengelilingi mereka mengiringi setiap cercah harapan yang baru saja dilontarkan Rosie dalam hati—begitupun dirinya, masih mengibarkan asa agar sang gadis akan benar-benar menjadi miliknya.
”Kali ini tiup lilin-lilinnya, dear,”Kobaran api kecil pada lilin telah padam seutuhnya. Kedua tangannya bergerak, meletakkan kue coklat itu ke atas meja dan dengan perlahan menuntun gadis tersebut untuk berdiri di hadapan. Tanpa pikir panjang, Fabi memeluk erat tubuh tersebut seperti yang telah ia lakukan berulang kali di danau kemarin. Entah setan apa yang memerintahkan dirinya memeluk sang gadis. Padahal adegan saling memeluk ini tak ada dalam skenario yang ia susun kemarin malam. Tak perlu menunggu lima detik kemudian, tubuh mereka akhirnya saling menjauh dan senyuman salah tingkah begitu saja terpatri membingkai wajah. Kau tahu, saudara-saudara? Makhluk dalam tubuhnya benar-benar mengamuk tak sabar; membuncahkan semangat untuk tak sabar mencurahkan segala perasaan hati. Merlin... dia gugup.
[RH]Gadis mana yang tidak terpana jika dihadapkan oleh pemandangan seperti ini. Perasaan tersanjung pasti menjadi dominan kedua setelah rasa terkejut yang langsung menyergap, bila secara tiba-tiba mendapati suasana nan romantis seperti yang sedang disuguhkan kepada Rosemary. Memang, pemandangan serupa sering ia temui bila ia berada dalam sebuah restoran mewah milik muggle. Tapi, semua hal yang terlihat biasa bagi dirinya berubah menjadi sesuatu yang sarat makna. Karena, semua ini dipersembahkan hanya untuknya, pribadi. Itulah mengapa Rosemary merasa tersanjung.
Dan seseorang yang begitu rela bersusah payah memikirkan tentang bagaimana merombak tempat yang selalu dianggap biasa oleh orang lain ini berubah menjadi sesuatu yang...cantik. Rosemary sama sekali tak habis pikir, mengenai pemuda yang kini berada di hadapannya, yang sedang menatapnya, Seakan membuat Mary melihat sisi lain sang pemuda. Segala keburukan yang melekat padanya seolah sirna, berubah menjadi wujud seseorang bagaikan malaikat terakhir yang hanya ada untuk sang gadis. Sebuah kehormatan bagi Mary dapat melihat sisi lain seorang Dutie, yang ternyata sangat berbeda. Mengapa tidak dari awal dia seperti ini? Mungkinkah itu yang disebut sebagai misteri kehidupan?
Ia menggapai uluran tangan Fabi, meyakinkan diri bahwa apa yang ia lakukan ini benar dan tidak membahayakan dirinya. Suara hatinya juga tidak berteriak protes manakala Fabi menuntunnya ke arah meja bundar di tengah lilin-lilin kecil itu, sehingga mereka berdua sekarang berada dalam area yang bersimbol 'Love' dan mempersilakan Mary duduk di sebuah kursi yang telah ia siapkan. Tak ada kata-kata, namun gesture yang diperlihatkan sang pemuda sangat jelas, ia meminta Mary untuk duduk tenang.
”E-err, tunggu disini, Rosie. Aku ingin kesana sebentar,”Kalimat pertama yang keluar dari bibir Fabi. Dia mau kemana? Mengapa ia tidak ikut duduk di kursi satunya lagi? Apakah masih ada yang harus ia lakukan sehingga harus meninggalkan dirinya sendiri di sini? Pertanyaan demi pertanyaan muncul tak terbendung, hampir saja ia mengeluarkan suara ketika manik coklatnya menangkap pemilik tubuh besar berjas itu kembali lagi.
Oh My, Rosemary semakin tak sanggup berkata-kata saat mengetahui kejutan apa lagi yang dilakukan pemuda ini. Sebuah kue ulang tahun berukuran sedang dengan lilin-lilin diatasnya kini telah berada di hadapannya.
”Happy Birthday, dear... wish all the best for you,”Manik kembar coklat itu terlihat berbinar diantara temaram cahaya lilin, menatap wajah sang pemuda dengan senyuman menghiasi wajah. Berbagai perasaan bahagia, senang, gugup dan malu bercampur menjadi satu. Membuat gadis itu tak tahu lagi harus berkata apa kepada seseorang yang selalu mengisi ruang hatinya ini. Mungkin ucapan terima kasih tak cukup menggambarkan bagaimana bahagianya Rosemary. Ini adalah ulang tahun terindah baginya, dan tak pernah menyangka bahwa yang memberikan momen terindah ini adalah seniornya yang terkenal menyebalkan bagi semua orang. Tapi, sebaiknya tidak usah mengungkit lagi hal tersebut. Semua hal itu sudah selesai, disaat sang pemuda telah meminta maaf padanya.
”Make a wish first, Rosie”Bahkan Rosemary hampir saja melupakan ritual yang selalu dilakukan bila akan meniup lilin kue ulang tahunnya. Make a wish, sebuah permintaan atau harapan yang dipercaya akan terkabul bila kau memintanya sebelum meniup lilin itu. Dan mary tersadar bahwa pemuda ini menunggunya. Lalu ia memejamkan mata, mengucapkan sebuah permohonan dalam hati, dan membuka mata beberapa detik kemudian. Mary tak begitu yakin dengan harapannya kali ini, karena yang ada dalam kepalanya hanyalah
dia, sang pemuda yang kini memintanya untuk meniup lilin-lilin kecil itu. Serasa terhipnotis oleh seluruh ucapan kalimat yang meluncur dari bibir Fabi, gadis itu meniup lilinnya, seluruh lilin berjumlah empat belas dan sebuah lilin yang berada di tengah kue ulang tahunnya.
Masih tersenyum bahagia, dan Ia ingin mengucapkan sesuatu, Mary harus berterima kasih padanya, bagaimanapun juga pemuda ini telah susah payah memikirkan bagaimana caranya agar membuat Mary senang malam ini . Ia menghela nafas pelan, berusaha membuat dirinya rilek dan tidak gugup, menyusun kata demi kata yang akan ia ucapkan kepada pemuda ini. "Terima kasih--" bisiknya dengan susah payah, seolah ia tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi, manik coklatnya menatap pemuda lekat-lekat "--Kau... sungguh telah berubah, Dutie" sebuah kalimat yang meluncur begitu saja, entah mengapa Rosemary dapat mengatakan hal seperti itu. Tapi yang jelas apa yang dilakukan gadis itu selanjutnya sungguh diluar perkiraannya. Perlahan Mary mendekat ke arah Fabi yang masih membawa kue ulang tahun di kedua tangannya, berjinjit dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan pemuda itu. "Thank you, so much"
Perlahan Rosemary sedikit menjauh dari sang pemuda, memperhatikan apa yang dilakukan Fabi berikutnya. Ia meletakkan kue ulang tahun itu di atas meja. Dan yang terjadi berikutnya hampir sama seperti apa yang mereka lakukan dulu ketika berada di Danau. Fabi memeluknya, sebuah pelukan yang selalu dapat membuat Mary merasa nyaman. Ia melingkarkan kedua tangannya di tubuh sang pemuda dan membenamkan diri dalam pelukannya. Beberapa detik berikutnya, mereka saling melepaskan pelukan, saling menatap dengan senyum terpancang jelas diantara rona-rona kemerahan di wajah kedua insan itu.
[FCD]Tersenyum bahagia seakan merupakan hal terakhir yang bisa dilakukannya sejauh ini. Mengiringi degup jantung—yang kian berdetak cepat. Membuat sesosok Fabi terkesan sangat berbeda dengan tingkah aslinya sehari-hari. Iya, dia sendiri mendengar ungkapan Rosie kalau dirinya sudah berubah beberapa menit yang lalu. Tapi dia juga masih bingung dengan penentuan sikap yang ia pilih, tentu saja. Jika berada di hadapan Rosie, ia selalu bersikap baik—namun terhadap orang lain? Ah, kenapa dia masih tidak bisa saja?
Tatapan matanya masih fokus tertuju ke arah seorang gadis di hadapannya. Kedua tangan miliknya merenggut kedua tangan Rosie dan menggenggamnya. Beberapa saat mereka hanya saling tatap dan tersenyum. Fabi mulai melepaskan genggaman tangannya. Salah satu tangannya merogoh saku jas hitamnya dan mengeluarkan sebuah kotak merah berbentuk hati. Mengerling sejenak ke arah Rosie, sebelum akhirnya ia membuka kotak berbentuk hati dengan warna merah itu. Jemarinya dengan perlahan mengambil sebuah kalung emas putih dengan huruf R yang menggantung dari dalam kotak tesrebut.
”Kau suka ini, Rosie? Ini—huruf R. Inisialmu,”Ia masih mematrikan senyuman tulus sembari menunjukkan huruf R pada kalung tersebut.
”Ehm, ini kupesan langsung dari Paris, sayang. Boleh kukalungkan ini di lehermu?” ia menghela nafasnya singkat kemudian bergerak menuju bagian belakang Rosie dan mencoba mengalungkan sebuah kalung di leher gadis tersebut. Tak perlu menunggu waktu lama, kini kalung itu telah terlingkar di leher sang gadis.
Anak lelaki itu bergerak menjauh dari Rosemary. Mengambil sebuah gitar yang sedari tadi bersandar di dinding dekat tangga menurun. Ia kembali lagi ke hadapan Rosemary—mengajak gadis tersebut untuk duduk di kursi yang telah tersedia, ia pun terduduk tenang dengan gitar berada dalam pengkuannya.
”Ah, jujur saja—aku baru saja bisa bermain gitar, Rosie... haha,” sedikit guyonan dalam hening diyakini dapat mengurangi ketegangan suasana, bukan? Ah—YEAH.
”Boleh ku menyanyi sedikit untukmu, dear?”“
Well you done done me and you bet I felt it
I tried to be chill but you're so hot that I melted
I fell right through the cracks
Now I'm trying to get back
Before the cool done run out
I'll be giving it my bestest
And nothing's going to stop me but divine intervention
I reckon it's again my turn to win some or learn some
I won't hesitate no more, no more
It cannot wait, I'm yours
Well open up your mind and see like me
Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find love love love love
Listen to the music of the moment babay sing with me
I love peace for melody
And It's our God-forsaken right to be loved love loved love loved
So I won't hesitate no more, no more
It cannot wait I'm sure
There's no need to complicate
Our time is short
This is our fate, I'm yours
***
I've been spending way too long checking my tongue in the mirror
And bending over backwards just to try to see it clearer
But my breath fogged up the glass
And so I drew a new face and laughed
I guess what I'm be saying is there ain't no better reason
To rid yourself of vanity and just go with the seasons
It's what we aim to do
Our name is our virtue
But I won't hesitate no more, no more
It cannot wait I'm sure
Well open up your mind and see like me
Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find that the sky is yours
Please don't, please don't, please don't
There's no need to complicate
Cause our time is short
This oh this this is out fate, I'm yours!
Ia mendongak ke arah Rosie... menatap ekspresi gadis itu setelah mendengar suaranya yang—maaf saja kalau terkesan sombong—memang bagus dari lahir. Ohoho... Masih dalam diam—pemuda itu menunggu reaksi dari sang gadis. Apakah dia akan berkata ’suaramu jelek Dutie’. Atau malah sebaliknya? ’suaramu merdu sekali, Dutie’. Ah, kau terlalu banyak bermimpi Dutie.
Maniknya mengerjap sekali. Ia melirik ke arah jam tangannya dan waktu sudah menunjukkan pukul 20.25. Ah, sial. Sebentar lagi para Prefek akan patroli dan menyuruh semua murid agar kebali ke asramanya, bukan?
Tatapannya kini makin hangat namun rasa tak sabar semakin menggerayangi seluruh tubuhnya. Dan lantas, ia menggeletakkan gitar miliknya di atas lantai dan segera meraih kedua tangan gadis itu—menggenggamnya. Sedikit elusan lembut tiba-tiba dilakoni oleh ibu jari ke arah punggung tangan Rosemary.
”Rosemary, aku mencintaimu,”Hening sesaat. Tak ada yang mengira saat itu juga ia mengutarakan perasaanya. Sungguh—pemuda itu sedang gugup bukan main.
”Ma-Maukah kau menjadi kekasihku, dear?”Ia memejamkan matanya dengan paksa—tak yakin dengan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirnya.
Oh, kuharap kau menerimanya, Rosie... itu saja yang bisa kuharapkan..[RH]Merlin! Mengapa detak jantung Mary berkhianat seperti ini? Tidak mungkin bila Mary harus menghela nafas berulang-ulang di dekat Fabi untuk menenangkan diri. Pasti Fabi akan mengira Mary sesak nafas atau penyakit jantungnya kambuh. Oh, Mary tidak mengalami keluhan apapun mengenai jantung, semua kondisi fisiknya dalam keadaan prima. Termasuk jika dalam kondisi seperti ini, berada dalam situasi yang membuat degup jantungnya berdetak cepat dan tak beraturan. Mary yakin dia tetap akan baik-baik saja.
Mereka masih saling bertatapan, entah mengapa kali ini Mary mampu menatap seseorang dengan begitu intens. Seolah sosok di hadapannya itu adalah suatu obyek yang indah sehingga membuat sepasang manik kembar coklatnya untuk terus menatap. Memang, Rosemary selalu menyukai keindahan, termasuk seseorang yang berdiri di depannya ini. Dengan jarak sedekat itu, Mary dapat melihat dengan jelas sisi lain seorang Fabios Curain Dutie. Seandainya saja, kesempurnaan fisik yang ia miliki juga diimbangi dengan kesempurnaan sifat serta karakter yang dimiliki. Mary berani bertaruh, banyak yang akan memujanya. Dan itu bukan perkara gampang, tentu saja.
Genggaman tangan yang semula mengiringi kedua pasang manik itu bertatapan, kini terlepas. Menyebabkan gadis itu sedikit menundukkan wajahnya, mengangkat kembali seolah menanyakan apa yang akan terjadi berikutnya. Dan sang pemuda memberikan jawaban non verbal dengan menunjukkan sesuatu yang kini berada dalam genggaman tangannya.
Ada apa lagi? Rasanya malam ini dia begitu banyak dikejutkan oleh hal-hal yang tak pernah ia pikirkan selama ini. Dan sekarang yang dilakukan oleh Fabi adalah membuka sesuatu yang ternyata adalah sebuah kotak berwarna merah yang didalamnya ternyata ada...
Seuntai kalung yang sangat cantik. Untuk yang kesekian kalinya Mary terkejut, sontak ia menutup mulut dengan tangan kanannya, menahan nafas atas apa yang ia lihat sekarang. Menggelengkan kepala, masih tidak percaya.
”Kau suka ini, Rosie? Ini—huruf R. Inisialmu,”Oh My.... Sebenarnya siapakah yang ada di hadapan Rosemary ini? Malaikat? Lalu dimanakah Dutie yang ia kenal? Mary sungguh tak mengerti. Dan terdiamnya Rosemary masih berlanjut hingga Fabi menuju ke bagian belakang tubuhnya dan memasangkan kalung yang memiliki inisial namanya itu. Sentuhan benda berlapiskan emas putih di lehernya menyadarkan Mary dari segala keterkejutan yang melandanya tanpa henti. Perlahan ia menyentuh kalung itu dengan lembut, tepat di liontin yang berinisial huruf 'R' itu. Cukup lama ia menikmati keindahan yang terpancar dari kalung yang kini telah menghiasi lehernya dengan sempurna, hingga tak menyadari saat Fabi mulai melakukan sesuatu dengan sebuah alat musik bernama gitar. Mengajaknya duduk kembali dekat dengan Fabi yang akan bermain dengan gitar yang ada di pangkuannya.
”Ah, jujur saja—aku baru saja bisa bermain gitar, Rosie... haha,”Rosemary menanggapinya dengan tersenyum lebar. Ah, ternyata sang pemuda berminat dengan alat musik rupanya. Kalau memang dia dapat bermain dengan baik, tak ada salahnya suatu hari nanti Mary mengajaknya berkolaborasi, dengan dia sebagai pianisnya. Membayangkan hal ini membuat gadis Skotlandia itu tersenyum semakin lebar.
"Silakan, aku sangat ingin mendengarnya"
Dan petikan suara gitar pun terdengar di antara kesunyian yang dari tadi menyelimuti menara ini, mendengarkan melodi yang masih terdengar asing di telinga Mary. Tapi, tidak masalah karena ternyata permainan gitar akustik Fabi cukup bagus sehingga Mary masih dapat menikmatinya. Untaian lirik yang diucapkan dari bibir pemuda itu menambah nilai tambah dari keseluruhan lagu ini. Untuk suara? Kalau boleh Mary memberikan nilai, Exceed Expectation mungkin pantas. Belum Outstanding karena masih ada beberapa nada yang 'meleset' dari jalurnya. Namun tidak fatal. Ternyata, tanpa Mary duga selama ini, seorang Fabios memiliki kemampuan musikalitas yang bagus. Ah, Mary semakin tidak sabar mengajaknya bermain musik bersama suatu hari nanti, memainkan lagu ini lagi juga tidak apa-apa karena sepertinya bagus kalau dengan iringan pianonya.
Well open up your mind and see like me
Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find that the sky is yours
Please don't, please don't, please don't
There's no need to complicate
Cause our time is short
This oh this this is out fate, I'm yours!Dengan sentuhan manis, lagu itu berakhir dan Mary sangat terkesan dengan bait terakhirnya. Manik coklat Mary mengikuti gerakan Fabi yang kini meletakkan gitarnya kembali, menggenggam tangan milik Mary yang entah sudah keberapa kali ia lakukan malam ini, membelai punggung tangannya dengan lembut. Sampai sepasang telinganya mendengar sebuah kalimat sakral.
”Rosemary, aku mencintaimu, Ma-Maukah kau menjadi kekasihku, dear?”Ia sadar, inilah klimaks dari segala apa yang ia alami malam ini. Undangan makan malam, kue ulang tahun, sebuah kalung emas putih dan terakhir adalah lagu yang dimainkan secara khusus untuknya. Semua itu bermuara ke dalam satu titik, sebuah ungkapan perasaan. Seketika segala ingatan masa lalu berkelebat dalam kepalanya. Pertemuan pertama mereka yang dilanjutkan oleh pertemuan-pertemuan berikutnya yang selalu diakhiri dengan kemarahan, sakit hati, dan dendam. Semua itu dirasakan oleh Rosemary. Hingga beberapa bulan lalu saat pemuda ini meminta maaf padanya, sejak itu hubungan mereka mulai membaik, hati sang gadis luluh dengan kesungguhan hati sang pemuda yang benar-benar akan berubah. Dan sekarang, saat sang pemuda memintanya untuk menjadi seseorang yang spesial dalam menjalani hari-harinya, bagaimana jawaban Rosemary. Apakah dia sudah benar-benar memaafkannya? Apakah dia juga mencintai Fabi? Dan apakah ia mau menerima pemuda ini menjadi kekasihnya? Apapun pertanyaan yang mengarah ke sana hanya satu jawaban yang akan diberikan untuk pemuda ini.
Sekali lagi, Mary menghela nafas. Memejamkan mata sejenak lalu membukanya kembali, menatap Fabi yang juga sedang memejamkan matanya. Gadis itu menggenggam erat kedua tangan milik Fabi, berusaha agar kali ini ia dapat mengatakannya dengan jelas.
"Yes, i do"
[FCD]Yang tengah bergemuruh deras dalam nadinya adalah darah...
Yang tengah mengucur di setiap pelipisnya adalah keringat...
Yang tengah berdegup amat cepat adalah jantungnya...Ah, semakin malam, rupanya...Anak lelaki itu memberanikan membuka matanya untuk pertama kali sejak ia mengucapkan hal tersebut; hal yang sudah ia rencanakan sebelumnya, dengan perencanaan cukup matang, tentunya. Sepasang manik kecoklatan menembus bayang-bayang lilin panjang di atas meja, menatap dengan siratan penuh harap. Ia memaksakan satu tarikan bibir dibalik perasaan gugup yang sesungguhnya. Sementara, ia dapat merasakan satu genggaman erat tangan Rosemary di tangannya. Dan itu--apakah tanda bahwa Rosie akan menerimanya? Menerima perasaannya dan bersedia menjadi seorang yang sangat berharga baginya? Semoga saja. Sungguh--ia mengharapkan itu semua.
"Yes, i do"Whusshh...
Angin semilir berhembus... Menggerakkan bagian depan rambutnya.THANK'S GOD.Senyumannya berkembang. Begitu bahagia. Sampai-sampai dia terpaksa untuk semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Rosie. Sepasang maniknya bercahaya, terpantulkan oleh setiap butir kristal yang menghiasi liontin pada leher Rosie.
Tahu? Dia lega saudara... "Su-Sure?" masih gugup ternyata. Ia mengambil nafas sekali--
"Ah--"Ia langsung saja berdiri dari kursinya dan bergerak menuju kursi Rosie. Memegang pundak gadis itu sejenak untuk memberi isyarat singkat agar dia berdiri--dan memeluk erat tubuh mungil itu dalam keheningan setelahnya.
"--terima kasih, sayang,"Telapak tangannya mengelus rambut bagian belakang Rosie. Masih memeluknya, pemuda itu bergumam tiada henti mengenai perasaannya. Hanya dia sendiri yang tahu, apa yang ia gumamkan, tentu saja. Dan secara perlahan, anak laki-laki itu meregangkan dekapannya disusul sang telapak tangan yang mulai menyentuh kedua pipi gadis di depannya--membiarkan kedua lengan Rosie masih melingkar di pinggangnya.
"Love you,"Dengan segala rasa percaya diri yang dimilikinya beserta dukungan suasana menara kastil yang menghembuskan angin sejuk, pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah sang gadis. Walau sedikit menunduk karena Rosie lebih pendek, tetap tak menghalangi sang anak laki-laki Gryffindor ini untuk menyentuhkan bibirnya ke bibir Rosie. Kini, bibir mereka saling bersentuhan dan--ia suka itu.